Pakar hukum tata negara dan konstitusi, Fahri Bachmid mengurai, hakikatnya pembentuk UUD telah meletakkan mekanisme
checks and balances dalam konteks relasi kelembagaan serta kewenangan atributif lembaga negara, termasuk DPR, presiden, MK, maupun KPU.
Mekanisme
checks and balances itu kemudian memunculkan alat bernama hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
"Tetapi konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif dalam menjalankan pemerintahan negara, bukan dimaksudkan untuk menilai atau membahas terkait proses atau hasil pemilu," kata Fahri dalam keterangannya, Jumat (23/2).
Ia lantas mengutip konstruksi norma Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tentang pemilihan umum. Pada pasal tersebut, disebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Dengan demikian, alat angket untuk menilai proses serta produk pemilu adalah jalan keliru dan jauh dari prinsip konstitusi, yang telah meletakkan diferensiasi kewenangan konstitusional pada masing-masing lembaga negara," tegasnya.
Fahri lantas mengurai, relasi penyelesaian sengketa pemilu sudah ditentukan secara limitatif dalam konstitusi itu sendiri. Pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa "Mahkamah Konstitusi berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum".
"Sehingga menurut hemat saya, jalan itu yang mestinya digunakan. Angket adalah operasi 'caesar' yang tidak dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa pemilu di republik ini," tutupnya.
BERITA TERKAIT: